Jumat, 26 Agustus 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU BALAGHAH

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.
Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka. Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.
Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.
Tema-tema ilmu Balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal sebagai kritik sastra semakin berkembang lebih dari pada masa jahiliyah.
Mulai dari masa Khalifah Umayyah, sebenarnya para Ulama pakar sastra mulai bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka. Dari sinilah kemudian muncul balaghah ‘arabiyyah dari berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang berbicara tentangnya hingga sampailah fase pengajaran dari sebuah ilmu.
Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w.208), murid Al-Khalili (w. 170 H). Sedangkan ilmu Ma’ani, maka tidak diketahui pasti orang yang pertama kali menyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para Ulama, terutama al-Jahidz (w. 225 H) dalam I’jazul Quran-nya.
Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada masa awal kemunculannya. Yaitu terutama pada masa-masa Abbasyiah kedua (232-334 H). Dalam fase tersebut, balaghah dengan tiga cabangnya masih belum jelas ketertarikannya dalam kesatuan balaghah hingga nantinya memasuki masa perkembangannya di abad kelima hijriyah.
Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah, Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjaniy (w. 471 H) yang mengarang kitab tentang ilmu ma’aniy dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah beliau, hadirlah abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf As-Sakakiy Al-Khawarizmi (w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.
Perkembangan balaghah pada masa ini ssalah satunya disebabkan oleh persinggungannya dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Quran. Adanya fenomena inilah yang kemudian oleh pakar sekarang dimunculkan istilah Madrasah Adabiyyah dan Madrasah Kalamiyyah atas dasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.
Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pembelaMadrasah Kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah mereka dengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.
Sedangkan Madrasah Adabiyyah, mereka sangat berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.
Demikianlah, Madrasah Kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan penguatan I’jazul Quran yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah, filsafat ketuhanan, dan lainnya. SedangkanMadrasah Adabiyyah, mereka banyak menguatkan karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa kritis.

Masa berjalan, pada akhirnya Madrasah Kalamiyyah lebih menguat dibandingkan Marasah Adabiyyah hingga sampailah konsep balaghah yang kita kenal saat ini, dari kitab-kitab yang ditulis para pakar-pakarnya tersebut dari masa ke masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar