Secara
historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah
muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut
dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang
Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni,
dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum
diajarkan dan dikodifikasikan.
Tidak
terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa
ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab,
baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.
Setiap
bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka. Membedakan
antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai
pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya
bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.
Sebagaimana
telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya
berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi
menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan
berbahasa Arab.
Para pakar
yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling
mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan
mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih
ilmu balaghah.
Pada
perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan
non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah
ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka
orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika
terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka
punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.
Tema-tema
ilmu Balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai berkembangnya
ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal sebagai kritik sastra
semakin berkembang lebih dari pada masa jahiliyah.
Mulai dari
masa Khalifah Umayyah, sebenarnya para Ulama pakar sastra mulai bicara tentang
makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya dengan contoh dan
bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka. Dari
sinilah kemudian muncul balaghah ‘arabiyyah dari berbagai segi. Disusunlah
buku-buku yang berbicara tentangnya hingga sampailah fase pengajaran dari
sebuah ilmu.
Kitab yang
pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu
kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna
(w.208), murid Al-Khalili (w. 170 H). Sedangkan ilmu Ma’ani, maka tidak
diketahui pasti orang yang pertama kali menyusun tentang ilmu tersebut. Namun,
ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para Ulama, terutama al-Jahidz (w. 225
H) dalam I’jazul Quran-nya.
Adapun
penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai
pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd
asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu
balaghah pada masa awal kemunculannya. Yaitu terutama pada masa-masa Abbasyiah
kedua (232-334 H). Dalam fase tersebut, balaghah dengan tiga cabangnya masih
belum jelas ketertarikannya dalam kesatuan balaghah hingga nantinya memasuki
masa perkembangannya di abad kelima hijriyah.
Setelah
kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi dan
menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah, Abu Bakar
Abdul Qahir Al-Jurjaniy (w. 471 H) yang mengarang kitab tentang ilmu ma’aniy
dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul
Balaghah. Kemudian setelah beliau, hadirlah abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf
As-Sakakiy Al-Khawarizmi (w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu
balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah
al-‘Ulum.
Perkembangan
balaghah pada masa ini ssalah satunya disebabkan oleh persinggungannya dengan
ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Quran. Adanya fenomena inilah
yang kemudian oleh pakar sekarang dimunculkan istilah Madrasah Adabiyyah dan Madrasah
Kalamiyyah atas dasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan
pembahasan balaghah.
Tiap-tiap
madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pembelaMadrasah Kalamiyyah memfokuskan
pembahasan balaghah mereka dengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit
perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan
kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi
maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka
banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.
Sedangkan Madrasah
Adabiyyah, mereka sangat berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti
(contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali
memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan
indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni,
keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.
Demikianlah, Madrasah
Kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan penguatan I’jazul
Quran yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah, filsafat
ketuhanan, dan lainnya. SedangkanMadrasah Adabiyyah, mereka banyak menguatkan
karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa kritis.
Masa
berjalan, pada akhirnya Madrasah Kalamiyyah lebih menguat
dibandingkan Marasah Adabiyyah hingga sampailah konsep balaghah yang
kita kenal saat ini, dari kitab-kitab yang ditulis para pakar-pakarnya tersebut
dari masa ke masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar