Era keemasan Ilmu
Balaghah diawali dengan lahirnya seorang sastrawan terkemuka bernama Abu
Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani (w. 471 H.) yang dikenal dengan
nama Abdul Qahir al-Jurjani. Beliau termasuk figur yang sangat perhatian
terhadap ilmu balaghah.
Dalam sejarah, beliaulah yang dikenal menguraikan semua
kaidah balaghah satu persatu, mengajukan contoh yang mudah dimengerti dan
menggunakan bahasa yang mudah dicerna. Hal itu tercermin dalam kitabnya yang
bernama Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I'jaz. Dalam penyampaiannya beliau
memandang bahwa ilmu dan tindakan harus sama-sama berjalan.
Oleh karena
itu, contoh-contoh yang beliau kemukakan selalu berkaitan erat dengan hal-hal
yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar pembaca lebih
mudah mencerna kaidah-kaidah balaghah yang beliau sampaikan. Masalahnya, semua
tema yang terdapat di dalam balaghah tidak akan mudah dicerna kecuali dengan
memperbanyak contoh-contoh dan latihan.
Maka contoh
global itulah yang kemudian diolah dan dijelaskan sejelas mungkin, selain juga
diperkuat dengan gambaran-gambaran particular yang makin memperjelas kandungan
balaghah dalam satu redaksi atau ungkapan. Walaupun pada masa sebelum itu ada
beberapa cendekiawan yang telah memperkenalkan kaidah balaghah, seperti Imam
al-Jahidz, Qudamah al-Katib, akan tetapi justru Abdul Qahir yang dianggap
sebagai salah satu pelopor ilmu balaghah.
Klaim
tersebut bukanlah omong kosong belaka dan tanpa alasan. Penilaian ini
berdasarkan kontribusi Abdul Qahir yang betul-betul membangkitkan ilmu Balaghah.
Apa yang beliau berikan, tidak pernah sekalipun berhasil disamai oleh
periode-periode sebelum dan sesudah beliau. Beliau berhasil membangun ilmu
Balaghah menjadi disiplin ilmu pengetahuan yang dikenal masyarakat luas.
Setelah masa
keemasan Abdul Qahir berlalu, muncullah al-Imam Jar al-Allah al-Zamakhsyari,
yang dikenal denagn nama Imam Zamakhsyari (w. 538 H). Beliau banyak menguak
unsur-unsur Balaghah yang terdapat dalam Al-Quran, mukjizatnya, maksud ayat,
serta keistimewaan yang dimiliki ayat-ayat tertentu.
Pada masa
berikutnya, muncullah seorang Ulama Balaghah terkenal yang kontribusinya juga
tidak kalah penting, yaitu Abu Yusuf al-Sakaky atau atau dikenal dengan nama
Imam Sakaky (w. 626 H.).
Beliau
menulis kitab berjudul Miftahul Ulum yang isinya menyempurnakan dan melengkapi
karangan-karangan terdahulu, serta menjelaskan kekurangan yang terdapat
sebelumnya, dan banyak meneliti (mengkritik) kaidah-kaidah balaghah yang
dianggap tidak diperlukan.
Hasil
penelitian tersebut kemudian dituangkan dalam kitab tersebut dengan penyampaian
yang sistematis, dan dikelompokkan dalam bab-bab tertentu dengan rapi, dan
mengklasifikasikan beberapa kaidah yang terpisah satu sama lain. Semua itu
beliau lakukan karena beliau banyak mempelajari kitab-kitab mantiq dan filsafat.
Tentu saja
kitab ini memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan kitab-kitab yang ditulis
pada masa-masa sebelumnya. Keberadaan Imam Sakaky ini juga ditengarai menjadi
salah satu pendorong berkembangnya ilmu Balaghah. Bahkan, sejarawan dan
sosiolog terkemuka sekelas Ibnu Khaldun menyebutkan kalau Imam al-Sakaky yang
menjadi pioner Balaghah, bukan Abdul Qahir. Apalagi Imam al-Sakaky merupakan
tokoh yang menjembatani antara Abdul Qahir, yang menggabungkan ilmu dan amal,
dengan orang-orang kontemporer, yang memaksakan diri untuk mengkaji Balaghah.
Mereka menyamakan Balaghah dengan ilmu-ilmu nazariyah (rasional), serta
menafsiri kalimat-kalimatnya seperti menkaji ilmu bahasa Arab.
Keadaan ini
hampir membuat balaghah lebih mirip dengan teka-teki dan tebak-tebakan.
Sehingga batasan dan kriteria ilmu balaghah hampir musnah dan hilang. Lebih
parah lagi, kitab-kitab karangan Abdul Qahir mulai ditelantarkan, dan tidak
lagi dipelajari. Barangkali inilah nasib sebuah ilmu pengetahuan jika
dipelajari oleh orang-orang yang berada dalam masa kehancuran (penurunan)
kelemahan.
Dalam kasus
ini, kitab Asror al-Balaghah-nya Abdul Qahir bisa disamakan dengan kitab
Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, atau Sultan Sulaiman dengan kitab Qawanin-nya. Walaupun
demikian, dalam pandangan Ahmad Mushthofa al-Maraghi, dibandingkan dengan Abdul
Qahir, Imam al-Sakaky tak ubahnya hanya mem'bebek' pada Abdul Qahir. "ma
kana al-sakaky illa 'iyalan 'ala abdil qahir," komentar beliau dalam kitab
'Ulum al-Balaghah-nya. Apalagi penggunaan redaksi dan penjelasan materi
balaghah yang disampaikan oleh Imam al-Sakaky justru kurang tersusun rapi dan
terkesan kacau.
Mungkin
kelebihan Imam al-Sakaky adalah karena beliau hidup setelah era Abdul Qahir,
serta penyajian materi yang menggunakan sub bab yang lebih banyak dikenal.
Tapi, lanjut al-Maraghi, seseorang yang hidup lebih dulu (Abdul Qahir)
mempunyai kelebihn daripada orang yang hidup belakangan, karena dia dianggap
sebagai pelopornya. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih
dulu, Abdul Qahir atau Imam al-Sakaky, ilmu balaghah telah mencapai tingkatan
tertinggi pada masa itu.
Hanya saja,
beberapa sejarawan ada juga yang menganggap bahwa yang pantas menjadi 'Bapak'
ilmu balaghah adalah Imam al-Sakaky. Tentu saja, perbedaan pendapat dan
kaidah balaghah yang seringkali berbenturan satu sama lain, selalu mewarnai
pembahasan kaidah dan tema ilmu balaghah secara merata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar